Gunadarma BAAK News

Selasa, 26 Juni 2012

PENGERTIAN POLITIK NEGARA,PENGAMBIL KEPUTUSAN,KEKUASAAN NEGARA,KEBIJAKAN PUBLIK (UMUM) DAN DISTRIBUSI KEKUASAAN


1.  PENGERTIAN NEGARA DALAM ILMU POLITIK

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, Negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis penuh perentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu golongan atau asosiasi, maupun oleh Negara sendiri. Dengan demikian Negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.

Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa Negara mempunyai dua tugas.
a. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asocial, yakni yang      bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan
b. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat keseluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan, asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan s=diarahkankepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan Negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.
Defenisi mengenai  Negara:
Ø Roger H. Soltau: “Negara adalah agen (Agency) atau kewenangan (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (the states is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and the name of the community)
Ø Harold J. Laski: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (the state is a society which is integrated by prosseing a coercive legally supreme over any individual or group which is a part of the society. A society is a group af human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of live to which both individuals and associations must confor is defined by a coercive authority binding upon them all)
Ø Max Weber: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah (the state is a human society that (successfully) claims the monopoli of the legitimate use of physical force within a given territory)
Ø Robert M. Maclver: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hokum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (the state is an association which, acting through law as promulgated by government endowed to this en whith coercive power, maintains whitin a community territorially demarcated the universal external conditions of social order)

Jadi, sebagai defenisi umum dapat dikatakan bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.

Dasar-dasar Ilmu Politik,Prof Miriam Budiardjo, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008


Definisi Atau Pengertian Politik

Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.


Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.

Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.

Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).


2. PENGAMBIL KEPUTUSAN

Para ilmuwan politik dan para ilmuwan sosial pada umumnya telah banyak mengembangkan model, pendekatan, konsep dan rancangan untuk menganalisis pembuatan kebijaksanaan negara dan komponennya, yaitu pengambilan/pembuatan keputusan. Sekalipun demikian, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik lebih sering menunjukkan hasrat yang tebih besar dalam mengembangkan teori mengenai kebijaksanaan negara daripada mempelajari praktek kebijaksanaan negara itu sendiri. Walaupun begitu, haruslah diakui bahwa konsep-konsep dan model-model tersebut amat penting dan bermanfaat guna dijadikan pedoman dalam analisis kebijaksanaan, karena konsep-tonsep dan model-model tersebut dapat memperjelas dan mengarahan pemahaman kila tcrhadap pembuatan kebijaksanaan negara’ mempermudah arus komunikasi dan memberikan penjelasan yang memadai bagi tindakan kebijaksanaan. Jelasnya, jika kita bermaksud mempelajari atau meneliti kebijaksanaan tertentu maka kita membutuhkan suatu pedoman dan kriteria yang relevan dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian kita. Sebab, apa yang kita temukan dalam realita sebetulnya bergantung pada apa yang kita cari, dan dalam hubungan ini konsep-konsep dan teori-teori kebijaksanaan yang ada dapat memberikan arah pada penelitian yang sedang kita lakukan.

Pembuatan Kebijaksanaan Negara menurut seorang pakar kebijaksanaan negara dari Afrika, chief J.o. Udoji (1981) merumuskan secara terperinci pembuatan kebijaksanaan negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik). Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan altematif terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori pengambilan keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan semacam itu dibuat. Kebijaksanaa, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang di antaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin. Dalam praktek pembuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam tulisan ini akan dibahas 3 (tiga) teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam berbagai kepustakaan kebijaksanaan negara. Teori-teori yang dimaksud ialah : teori Rasional komprehensif, teori Inkremental dan teori Pengamatan terpadu.
Teori Rasional Komprehensif
Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
3. Berbagai altenatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama.
4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang dipilih diteliti.
5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif’ dan akibat-akibatnya’ yang dapat memaksimasimalkan tercapainya tujuan, nilai atau Sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964′ 1959)’ Lindblom secara tegas menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih ada masalah’ yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan_-keputusan, kesepakatan-kesepakatan dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan program-program yang ada sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan untuk membuat keputusan yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang berkembang, menurut R’s. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi juga tidak mendukung birokrasi di negara sedang-berkembang umumnya dikenal amat lemah dan tidak sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan keputusan.
Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan, pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah dan altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
f. Pembuatan keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang.
Keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh berbagai kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap program-program yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki sifat-sifat ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu Paham inkremental ini juga cukup realistis karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang waktu, kurang pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada.
Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misatnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan. Iebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation) yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka — model inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu, semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
Kriteria pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

Nilai-nilai Politik.
Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi keuntungan politik’ dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi.
 Para pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat di dalamnya’ Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk melihat organisasinya tetap lestari, unuk tetap maju atau untuk memperlancar program-program dan kegiatan-kegiatannya atau atau untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.
Nilai-nitai Pribadi.
Hasrat untuk melindungi atau memenuhi kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial’ reputasi diri, atau posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan. Para politisi yang menerima uang sogok untuk membuat kepurusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok, misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau penandatanganan kontrak pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan menggebut siapa saja yang bertindak inkonstirusional, jelas juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya’misalnya agar ia mendapat tempat terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis.
Nilai-nilai Kebijaksanaan.
Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik inr semata-mata hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik, organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang fatal.
Nilai-nilai Ideologis.
Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri — telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan kekuatan kolonial.
Di Indonesia, ideologi Pancasila setidaknya bila dilihat dari sudut perilaku politik regim, telah berfungsi sebagai resep untuk melaksanakan perubahan sosial dan ekonomi. Bahkan ideologi ini kerapkali juga dipergunakan sebagai instrumen pengukur legitimasi bagi partisipasi politik atau partisipasi dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdul Wahab, Solichin, 1987).
KESIMPULAN
1. Definisi Pembuatan Kebijaksanaan Negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
2. Terdapadat beberapa teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan kebijakan negara diantaranya ; Teori Rasional Komprehensif, Teori Inkremental, Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory).

3. Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : Nilai-nilai Politik, Nilai-nilai organisasi, Nilai-nitai Pribadi, Nilai-nilai Kebijaksanaan, Nilai-nilai Ideologis.
http://astaqauliyah.com/2005/04/teori-teori-pengambilan-keputusan/


3. KEKUASAAN NEGARA

Negara (sebagai suatu organisasi di suatu wilayah) memiliki kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah terhadap semua  golongan yang  ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan kehidupan bersama. Negara berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan untuk digunakan dalam kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai kegiatan penduduk ke arah tujuan bersama.



Teori Asal kekuasaan Negara
1)Teori Teokrasi
 Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya,apakah negara semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah? 
Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak langsung karena bukan Tuhan sendiriyang memerintah, melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Anggapan ini timbul dalam sejarah pada sekumpulan manusia yang tergabung dalam partai konvensional (agama) dinegara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnyadihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.
2) Teori Kekuasaan                     
Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes danMachiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes membedakan dua macam status manusia:status naturalis - kedudukan manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis - kedudukan manusia setelah menjadi warganegara suatu negara.

3) Teori Yuridis
 Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:

a) Teori Patriarkhal
 Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga (primus inter pares) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena kekuatannya, jasa dan kebijaksanaannya.
b) Teori Patrimonial
Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik. Karena rajalahpemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh, pada abad pertengahan hak untukmemerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh.  Jika perang berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut membela negara akan mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.

c) Teori Perjanjian
Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan oleh tigatokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat yangmengalihkan manusia dari status naturalis ke status civilis
-Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu hidup dalam ketakutan akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat. Maka kemudian diadakan perjanjian masyarakat yang tidak mengikutsertakan raja. Perjanjian diadakan antarrakyat. Dalam perjanjian masyarakat (pactum unionis) itu individu-individu menyerahkan hak-hak azasinya kepada suatu kolektivitas, yaitu kesatuan individu-individu. Kolektivitas itu kemudian menyerahkan hak-hak atau kekuasaannya kepada raja dalam pactum subiectionis tanpa syarat apa pun. Itulah sebabnya raja berkekuasaan mutlak (monarkhi absolut).Sedangkan John Lockemenyatakan bahwa perjanjian itu diadakan antara raja dan rakyat, sehingga raja dapat memegang kekuasaannya untuk melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat meminta pertanggungjawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azasi yang harus dilindungi oleh raja. Akibat dari perjanjian antara rakyat dengan raja itu timbullah monarkhi konstitusional atau monarkhi terbatas karena kedudukan raja kinidibatasi konstitusi. Pendapat Rousseau adalah kebalikan dari paham Hobbes. Menurut Hobbes, pactum unionis itu “ditelan” oleh pactum subiectionis. Sedangkan menurutRousseau justru sebaliknya. Tujuan ajaran Rousseau adalah timbulnya kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu tidak pernah diserahkan kepada raja. Kalau pun raja yang memerintah, sesungguhnya kekuasaan pemerintahan itu diperolehnya dari rakyat. Raja adalah mandataris rakyat.
 
Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
 John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahankekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1.Legislatif : kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.Eksekutif : kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.Federatif : kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu – seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku“L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748).  Didalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku diInggris:
1.Legislatif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat(parlemen);
2.Eksekutif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3.Yudikatif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (MahkamahAgung dan pengadilan di bawahnya). Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan Negara ( separation of powers ) yang terkenal dengan istilah“Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untukmenyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badanyudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukumanterhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badanlegislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif),mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yangmengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukanpelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan
 
 John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasaneksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaanindependen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justrudimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.

Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yangdipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif,eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal  adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. IsmailSuny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separationof powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republikrakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itudalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.
http://ml.scribd.com/doc/36413610/KEKUASAAN-NEGARA


4. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK (UMUM)

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan administrasi negara.
Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut:
Menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
  1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
  2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
  3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
  4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
  5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
  6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
  1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
  2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
  3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
  4. Adil
  5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.
Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara bersama-sama.
Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan.
Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation).
http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html
5.DISTRIBUSI KEKUASAAN
Para scholars ilmu politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda untuk menganalisis soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada tigamodel yang ditawarkan para sarjana ilmu politik dalam memahaini distribusi kekuasaan (Andrain, 1992 : 154), pertama, model elite berkuasa. Menurut model ini sumber kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil orang saja. Kedua, model pularis, di mana kekuasan mulai tersebar diantara beberapa kelompok  sosial masyarakat.  Dan, ketiga, model kekuasaan popular atau populis, yang mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luas di seluruh kalangan warga negara.
A.Model – Model Distribusi Kekuasaan
1.Model Elite berkuasa atau model Elite yang memeirntah. Kosnepmengenai adanya elite yang memeintah atau berkuasa telah tedapat dalam tulisan Vilfredo Pareto dalam bukunya The Inind and Society;Gaetano Mosca dalam karyanya The Ruling Class, juga dalam tulisan Wright Inills, The Power Elite. Mereka akan mengemukakan bahwa dalam semua masyarakat (di manapun dan kapanpun) akan selaluterdapat suatu kelompok kecil yang berkuasa atas mayoritas warga.Gaetano Mosca bahkan hanya membagi kategori warga (dalam konteks kekuasaan) ke dala dua kelompok besar.  Pertama, kelompoknatau klas yang mmrintah (pemerintah), yang teridir dari sedikit orang,melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, danmenikmatinya. Dan kedua, klas yang diperintah, yang berjumlah banyak, dan berkecenderungan dimobilisasi oleh penguasa dengancara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga paksaan.
2.Model Pluralis. Asumsi yang terbangun dalam masyarakat yang relatif demokratis adalah setiap individu menjadi satu anggota suatu kelompok atau lebih berdasar pada preferensinya atas kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya.
Dalam konteks ini kelompok berfungsi sebagai wadah perjuangan kepentingan para anggota dan menjadi perantara antara para anggotanya, sehingga yang dimaksud dengan model elite yang berkuasa di sini ialah para kelompok yang saling bersaing dan berdialektika sesama kelompok lain dalam mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat pemerintah deini terlaksananya keinginan dan kebutuhan kelompok.3.Model kekuasaan popular. Asumsi yang mendasari model populis atau kerakyatan adalah demokrasi. Di mana pada sistem politik demokrasi(liberal) yang dibangun adalah sikap individualisme. Individualisme sendiri diasumsikan sebagai: (1) setiap warga negara yang telah dewasa mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum; (2) setiapwarga negara yang sudah dewasa yang mempunyai minat yang besar untuk aktif dalam proses politik; serta (3 ) setiap warga negara yang dewasa mempunyai kemampuan unutk mengadakan penilaian tehadap proses politik karena mereka memiliki informasi yang memadai.Oleh karena kewenangan tidak terbagi aecara merata, maka kewenangan dan atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoirter atau totaliter)harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perlu dilaihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang suatu jabatan.Semakin orang tersebut menganggap dan memperlakukan jabatan yang dipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya. tidak hanya semakin tidak kreatif dia dalam melaksanakan fungsi dan perannya dalam bertugas tetapi juga semakin cenderung mungkin dalam menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, peralihan kewenangan seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain merupakan suatu keharusan.  Menurut Paul Coun (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umum terdapat light cars peralihan kewenangan. yakni: pertama, turun menurun,yang dimaksud derngan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada ketuninan atau keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam sistem politik yang utonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua peralihan kewenangan dengan cara ptharcyalaii peralihan kewenangan melalui kontrak sosial yang berbentuk  pemulihan umum baik yang dilakukan secara langsung ataupun melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dlpraktikan dalam sistem politik yang demokratis. Dan ketiga, peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpalcsa dialihkan kepadaorang atau kelompok lain dengan tidak menurut prosedur yang sudah disepakati tetapi melalui tindak inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaan tak berdarah revolusi, dan/ atau kudeta.

B.Sirkulasi Elit Kekuasaan
Cara pandang lain untuk melihat sirkulasi elite adalah atau yang dapat terjadi, sebagai berikut: a)Individu – individu dari strata bawah berhasil memasuki ruang elite yangsudah ada;  b)Aktor individu atau kelompok yang berasal dari strata bawah membuat suatu kelompok elite baru yang diperhitungkan dan terlibat dalam perbutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.Terdapat tiga bentuk pertukaran atau sirkulasi elite ang berlangsung dalam mekanisme exchange:
1.Pertukaran atau sirkulasi elite antara pihak pemerintah dengan kelompok oposisi yang berasal dari dalam kelas – kelas politik ( political class).
2.Pertukaran atau sirkulasi elite antara yang tergabung dalam kelompok  political class dengan kelompok yang pernah berkuasa atau tengahtengah berkuasa.
3.Pertukaran atau sirkulasi elite antara mereka yang berkuasa (therulling class ) dengan mereka yang dikuasai (the ruled class)
http://ml.scribd.com/doc/46463821/Definisi-kekuasaan

OTONOMI DAERAH



Pengertian otonomi daerah adalah hak dan wewenang serta kewajiban untuk mengurus dan lebih luas lagi untuk mengatur diri sendiri. Pengertian otonomi daerah diberikan kepada daerah yang memiliki otonom dalam hal mengatur dan menjalankan urusan pemerintah serta kepentingan masyarakat sekitarnya.
Pengertian otonomi daerah bertujuan,salah satunya, sebagai daya guna serta penyelenggaraan pemerintahan, yang semuanya bertujuan satu, melayani masyarakat yang berlandaskan dan sesuai dengan peraturan undang-undang. 
Pengertian otonomi daerah adalah sebagai kebijakan atau kewenangan yang diputuskan oleh daerah. Sementara yang dimaksud dengan daerah otonomi adalah dari masyarakat yang memiliki hukum dan batas-batas, dan daerah itu mempunyai kewenangan dalam hal mengatur dan mengurusi sistem di pemerintahan. Memang tidak hanya soal pemerintahan, tapi juga mengenai kepentingan masyarakat secara umum.
Dalam mengambil kebijakan serta pelaksanaan otonomi daerah, tentu saja mesti berlandaskan dengan acuan hukum. Pengertian otonomi daerah juga mesti dimanfaatkan sebagai tuntutan globalisasi, caranya dengan memberi daerah tersebut kewenangan yang lebih luas. Otonomi daerah juga mencakup pengembangan dalam hal mengatur dan menggali sumber-sumber potensi yang terdapat di suatu daerah tersebut. 
Ada dua nilai yang dikembangkan, mengenai persoalan dari pengertian otonomi daerah ini, yaitu nilai yang terangkum dalam undang-undang 1945 menyoal pelaksanaan desentralisasi dan juga otonomi daerah yang ada di Indonesia ini. Yang pertama nilai itu diwujudkan dalam pandangan, jika Indonesia memiliki hanya kesatuan yang utuh, tidak mempunyai kesatuan pemerintah lain, yang di dalamnya juga ada yang bersifat negara atau "Eenheidstaat" dan kedaulatan tetap melekat pada setiap rakyat Indonesia.
Dan hal ini tidak atas dasar nilai semata, Indonesia tidak mungkin terbagi menjadi kesatuan-kesatuan yang lain. Itulah yang kemudian kita sebut dengan Nilai Unitaris. Dan nilai yang kedua adalah, seperti yang sesuai dengan undang-undang dasar 45, sudah jelas menyebutkan bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan desentralisasi serta dekonsentrasi di bidang ketatanegaraannya. Nilai yang kedua dalam pengertian otonomi daerah ini disebut dengan Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial. 
Jika kita merujuk pada pengertian kedua nilai di atas dalam istilah pengertian otonomi daerah, kita bisa mengaitkannya dengan penyelengaran desentralisasi yang ada di Indonesia ini. Dengan adanya hal tersebut, yang lebih memfokuskan pada pembentukan daerah-daerah yang sudah dinyatakan memiliki otonom. Sehingga dalam hal penyerahan dan pelimpahannya, dari wewenang pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam mengatur dan mengurusi ‘beban’ pemerintah pusat dalam mengurusi kekuasaan dan pembagian kewenangannya. Pengertian otonomi daerah memang mempunyai beberapa titik berat dalam hal pelaksanaannya. Pengertian otonomi daerah kemudian ada dalam Daerah Tingkatan II atau Dati II. Meski terasa berat, ada beberapa pertimbangan dalam pelaksaan ini.
Adanya dimensi politik, Daerah Tingkatan II memang dipandang kurang memiliki fanatisme yang melingkupi kedaerahan. Yang selanjutnya ada Dimensi Administratif, pelayanan dalam bidang satu ini sudah relatif lebih aktif. Dalam hal pembangunan yang mengarah pada potensi rakyat di suatu daerah tersebut, adanya daerah tingkat II adalah motor penggerak dalam hal pelaksanaannya. Hal-hal itu adalah pelaku dari pengertian otonomi daerah itu sendiri.
Dari pengertian ini kemudian muncul semacam prinsip mengenai pengertian otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah itu adalah nyata. Nyata dalam hal secara nyata, sangat diperlukan. Tentu saja harus disesuaikan dengan situasi serta kondisi obyektif dari daerah tersebut.
Pengertian otonomi daerah adalah berperan penting dalam bertanggung jawab dalam hal pemberian otonomi yang hanya satu tujuan, yaitu dalam upaya memperlancar pembangunan di suatu daerah tersebut. Dan yang terakhir dari pengertian otonomi daerah adalah dinamis, yang menitikberatkan kepada hal yang positif dan memberikan dorongan pemerintah daerah supaya lebih maju lagi.
Pengertian Otonomi Daerah dan Sejarahnya
Pengertian otonomi daerah juga memiliki sejarah. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, ketika pemerintah Orde Baru berhasil membangun pemerintahan nasional yang kuat di tahun 1966, dari situ Indonesia mulai mempercepat pembangunan ekonomi. Kemudian ketahanan ekonomi itu makin kuat dan berhasil lantaran ditopang dan dibantu dalam program pembangunan dari pemerintah pusat.
Dalam kekuasan politik dan dari sejarah ini, baik mengenai otoritas administrasi, kemudian dibentuk undang-undang no 5 tahun 1974 mengenai subtansi dari pokok-pokok pemerintah daerah. Nah, jika kita kembali mengacu pada undang-undang di atas, pengertian otonomi daerah, seperti yang sudah diterangkan di awal tulisan ini, bahwa adalah hak dan wewenang serta kewajiban daerah dalam hal mengatur dan mengurus keperluan rumah tangganya sendiri. 
Sedikitnya ada tiga prinsip yang merangkum isi dari undang-undang yang berkaitan dengan pengertian otonomi daerah ini. Yang pertama prinsip desentralisasi, adalah penyerahan wewenang dari pemerintah ataupun dari daerah, kemudian diberikan kepada dan menjadi urusan rumah tangga sendiri, menjadi urusan daerah. Sehinga pemerintah pusat tidak bisa ikut campur lagi. Hak otonom sudah diberikan kepada pemerintahan daerah.
Masih menurut pengertian otonomi daerah, prinsip kedua adalah mengenai pelimpahan wewenang yang seharusnya diberikan kepada pemerintah pusat, sekarang diberikan kepada kepala wilayah diberikan kepada para pejabat di daerah tersebut.
Dan prinsip yang terakhir juga masih dalam cakupan pengertian otonomi daerah adalah melakukan penugasan pembantuan. Dalam prinsip ini baik pemerintah pusat atau daerah saling bersinegri dalam keikutsertaan melaksanakan urusan pemerintahan. 
Pengertian Otonomi Daerah Pasca Orde Baru
Indonesia secara serius telah melakukan desentralisasi ketika masa reformasi tengah dimulai. Saat itu krisis mulai melanda Asia yang uniknya bertepatan dengan pergantian rezim Soeharto. Pergantian dari rezim otoriter menuju rezim yang lebih demokratis. Pengertian otonomi daerah menjadi sebuah wacana yang timbul dari daerah-daerah.
Pemerintahan Habibie saat itu yang menggantikan pemerintahan Soeharto, dihadapkan dengan tantangan yang serius pula, yaitu pemerintahan kali ini ditantang untuk mempertahankan integritas nasional yang kemudian dihadapkan dalam berbagai pilihan. Tidak lain dan tidak bukan semuanya dibenturkan kepada meyiasati dari pengertian otonomi daerah tersebut.
Untuk menyelamatkan pengertian otonomi daerah secara utuh, pilhan itu dihadapkan, bahwa Indonesia mesti melakukan pembagian kekuasaan. Itu berarti ada pengurangan-pengurangan peran yang dilakukan pemerintah pusat, dan sudah pasti memberikan otonomi pada daerah.
Dan yang berikutnya dari proses yang terjadi berdasarkan pengertian otonomi daerah adalah, pembentukan negara yang federal atau pilihan yang ketiga adalah dengan membuat pemerintah provinsi, yang fungsinya sebagai agen murni dalam pemerintahan pusat. Dan dari masalah ini kemudian, pemerintahan Habibie melakukan dasar hukum dengan desentralisasi yang baru.
Undang-undang yang lama itu diganti, dengan undang-undang No 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, dan juga undang-undang No 25 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebuah penggantian undang-undang yang berdasarkan pengertian otonomi daerah.
Nah, kita bisa melihat bahwa dari undang-undang itu menyiratkan bahwa pengertian otonomi daerah bukan lagi menjadi hak, melainkan sebagai kewajiban yang mutlak. Yang menekankan arti pentingnya dalam kewenangan daerah ketika mengatur dan mengurus kepentingan rakyatnya.
Aturan mengenai pengertian otonomi daerah sudah tertuang dalam beberapa butir undang-undang, semisal dalam Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, tentang Pemerintahan Daerah, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan lain sebaginya.
Sumber : http://www.anneahira.com/pengertian-otonomi-daerah.htm