1. PENGERTIAN NEGARA DALAM ILMU POLITIK
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, Negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis penuh perentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu golongan atau asosiasi, maupun oleh Negara sendiri. Dengan demikian Negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Dalam rangka ini boleh
dikatakan bahwa Negara mempunyai dua tugas.
a. Mengendalikan dan
mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asocial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak
menjadi antagonis yang membahayakan
b. Mengorganisir dan
mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat keseluruhnya. Negara menentukan bagaimana
kegiatan-kegiatan, asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain
dan s=diarahkankepada tujuan nasional. Pengendalian ini dilakukan berdasarkan
sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat
perlengkapannya. Kekuasaan Negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan
teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan
kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini.
Defenisi mengenai Negara:
Ø Roger H.
Soltau: “Negara adalah agen (Agency) atau kewenangan (authority) yang mengatur
atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (the states
is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on
behalf of and the name of the community)
Ø Harold J. Laski: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (the state is a society which is integrated by prosseing a coercive legally supreme over any individual or group which is a part of the society. A society is a group af human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of live to which both individuals and associations must confor is defined by a coercive authority binding upon them all)
Ø Harold J. Laski: “Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih berkuasa daripada individu atau kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan Negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (the state is a society which is integrated by prosseing a coercive legally supreme over any individual or group which is a part of the society. A society is a group af human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of live to which both individuals and associations must confor is defined by a coercive authority binding upon them all)
Ø Max Weber: “Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah (the
state is a human society that (successfully) claims the monopoli of the
legitimate use of physical force within a given territory)
Ø Robert M. Maclver: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hokum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (the state is an association which, acting through law as promulgated by government endowed to this en whith coercive power, maintains whitin a community territorially demarcated the universal external conditions of social order)
Ø Robert M. Maclver: “Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hokum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (the state is an association which, acting through law as promulgated by government endowed to this en whith coercive power, maintains whitin a community territorially demarcated the universal external conditions of social order)
Jadi, sebagai defenisi umum dapat dikatakan bahwa Negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.
Dasar-dasar Ilmu Politik,Prof Miriam Budiardjo, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008
Definisi Atau
Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.
Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya
dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum
(public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada.
Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan
upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula
yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara
atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam
beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik
politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan
kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
2. PENGAMBIL KEPUTUSAN
Para
ilmuwan politik dan para ilmuwan sosial pada umumnya telah banyak mengembangkan
model, pendekatan, konsep dan rancangan untuk menganalisis pembuatan
kebijaksanaan negara dan komponennya, yaitu pengambilan/pembuatan keputusan.
Sekalipun demikian, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik lebih sering
menunjukkan hasrat yang tebih besar dalam mengembangkan teori mengenai
kebijaksanaan negara daripada mempelajari praktek kebijaksanaan negara itu
sendiri. Walaupun begitu, haruslah diakui bahwa konsep-konsep dan model-model
tersebut amat penting dan bermanfaat guna dijadikan pedoman dalam analisis
kebijaksanaan, karena konsep-tonsep dan model-model tersebut dapat memperjelas
dan mengarahan pemahaman kila tcrhadap pembuatan kebijaksanaan negara’
mempermudah arus komunikasi dan memberikan penjelasan yang memadai bagi
tindakan kebijaksanaan. Jelasnya, jika kita bermaksud mempelajari atau meneliti
kebijaksanaan tertentu maka kita membutuhkan suatu pedoman dan kriteria yang
relevan dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian kita. Sebab, apa yang
kita temukan dalam realita sebetulnya bergantung pada apa yang kita cari, dan
dalam hubungan ini konsep-konsep dan teori-teori kebijaksanaan yang ada dapat
memberikan arah pada penelitian yang sedang kita lakukan.
Pembuatan Kebijaksanaan Negara menurut
seorang pakar kebijaksanaan negara dari Afrika, chief J.o. Udoji (1981)
merumuskan secara terperinci pembuatan kebijaksanaan negara sebagai keseluruhan
proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan
politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik,
pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang
dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan
kembali (umpan balik). Pengambilan keputusan mengandung arti pemilihan
altematif terbaik dari sejumlan Atematif yang tersedia. Teori-teori pengambilan
keputusan bersangkut paut dengan masalah bagaimana pilihan-pilihan semacam itu
dibuat. Kebijaksanaa, sebagai telah kita rumuskan di muka, adalah suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seseorang aktor atau
sejumlah aktor berkenaan dengan suatu masalah atau persoalan tertentu.
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan
tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak
keputusan yang di antaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak
rutin. Dalam praktek pembuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai
suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam tulisan ini
akan dibahas 3 (tiga) teori pengambilan keputusan yang dianggap paling sering
dibicarakan dalam berbagai kepustakaan kebijaksanaan negara. Teori-teori yang
dimaksud ialah : teori Rasional komprehensif, teori Inkremental dan teori
Pengamatan terpadu.
Teori Rasional Komprehensif
Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal
dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional
komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu
masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya
dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang
mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya
sesuai dengan urutan kepentingannya.
3. Berbagai altenatif untuk memecahkan masalah
tersebut diteliti secara saksama.
4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang dipilih diteliti.
5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
4. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif Yang dipilih diteliti.
5. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya.
6. Pembuat keputusan akan memilih alternatif’ dan
akibat-akibatnya’ yang dapat memaksimasimalkan tercapainya tujuan, nilai atau
Sasaran yang telah digariskan.
Teori rasional komprehensif banyak mendapatkan
kritik dan kritik yang paling tajam berasal dari seorang ahli Ekonomi dan
Matematika Charles Lindblom (1965 , 1964′ 1959)’ Lindblom secara tegas
menyatakan bahwa para pembuat keputusan itu sebenarya tidaklah berhadapan
dengan masalah-masalah yang konkrit dan terumuskan dengan jelas.
Lebih lanjut, pembuat keputusan kemungkinan juga
sulit untuk memilah-milah secara tegas antara nilai-nilainya sendiri dengan
nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Asumsi penganjur model rasionar bahwa
antara fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dengan mudah dibedakan, bahkan
dipisahkan, tidak pemah terbukti dalam kenyataan sehari-hari. Akhirnya, masih
ada masalah’ yang disebut ,,sunk_cost,,. Keputusan_-keputusan,
kesepakatan-kesepakatan dan investasi terdahulu dalam kebijaksanaan dan
program-program yang ada sekarang kemungkinan akan mencegah pembuat keputusan
untuk membuat keputusan yang berbeda sama sekali dari yang sudah ada.
Untuk konteks negara-negara sedang berkembang,
menurut R’s. Milne (1972), mode irasionar komprehensif ini jelas tidak akan
muduh diterapkan. Sebabnya ialah: informasi/datastatistik tidak memadai ; tidak
memadainya perangkat teori yang siap pakai untuk kondisi- kondisi negara sedang
berkembang ; ekologi budaya di mana sistem pembuatan keputusan itu beroperasi
juga tidak mendukung birokrasi di negara sedang-berkembang umumnya dikenal amat
lemah dan tidak sanggup memasok unsur-unsur rasionar dalam pengambilan
keputusan.
Teori Inkremental
Teori inkremental dalam pengambilan keputusan
mencerminkan suatu teori pengambilan keputusan yang menghindari banyak masalah
yang harus dipertimbangkan (seperti daram teori rasional komprehensif) dan,
pada saat yang sama, merupakan teori yang lebih banyak menggambarkan cara yang
ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambil kepurusan sehari-hari.
Pokok-pokok teori inkremental ini dapat diuraikan
sebagai berikut.
a. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis
tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu
hal yang saling terkait daripada sebagai sesuatu hal yang saling terpisah.
b. Pembuat keputusan dianggap hanya
mempertimbangkan beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok
masalah dan altematif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental
atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang.
c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
c. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi.
d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan didedifinisikan secara terarur. Pandangan inkrementalisme memberikan kemungkin untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta sarana dan tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi.
e. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan
yang tepat bagi tiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada
keyakinan bahwa berbagai analisis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan
tertentu meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling
tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
f. Pembuatan keputusan yang inkremental pada
hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk
memperbaiki ketidaksempunaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalahsosial
yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial
yang sama sekali baru di masa yang akan datang.
Keputusan-keputusan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari saling
memberi dan menerima dan saling percaya di antara pelbagai pihak yang terlibat
dalam proses keputusan tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya majemuk
paham lnkremental ini secara politis lebih aman karena akan lebih gampang untuk
mencapai kesepakatan apabila masalatr-masalah yang diperdebatkan oleh berbagai
kelompok yang terlibat hanyalah bersifat upaya untuk memodifikasi terhadap
program-program yang sudah ada daripada jika hal tersebut menyangkut isu-isu
kebijaksanaan mengenai perubahan-perubahan yang radikal yang memiliki
sifat-sifat ambil semua atau tidak sama sekali. Karena para pembuat keputusan
itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut
akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka di masa datang, maka keputusan yang
bersifat inkremental ini akan dapat mengurangi resiko dan biaya yang
ditimbulkan oleh suasana ketidakpastian itu Paham inkremental ini juga cukup realistis
karena ia menyadari bahwa para pembuat keputusan sebenamya kurang waktu, kurang
pengalaman dan kurang sumber-sumber lain yang diperlukan untuk melakukan
analisis yang komprehensif terhadap semua altematif untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada.
Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning
Theory)
Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi
organisasi Amitai Etzioni. Etzioni setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi
inkremental yang diarahkan pada teori rasional komprehensif, akan tetapi ia
juga menunjukkan adanya beberapa kelemahan yang terdapat pada teori
inkremental. Misatnya, keputusan-keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan
penganut model inkremental akan lebih mewakili atau mencerminkan
kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang kuat dan mapan serta
kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan kepentingannya dalam masyarakat,
sementara itu kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang lemah dan
yang secara politis tidak mampu mengorganisasikan kepentingannya praktis akan
terabaikan. Iebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan
jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas
dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental
cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation)
yang mendasar.
Oleh karena itu, menurut Yehezkel Dror (1968)
gaya inkremental dalam pembuatan keputusan cenderung menghasilkan kelambanan
dan terpeliharanya status quo, sehingga merintangi upaya menyempurnakan proses
pembuatan keputusan itu sendiri. Bagi sarjana seperti Dror– yang pada dasamya
merupakan salah seorang penganjur teori rasional yang terkemuka — model
inkremental ini justru dianggapnya merupakan strategi yang tidak cocok untuk
diterapkan di negara-negara sedang berkembang, sebab di negara-negara ini
perubahan yang kecil-kecilan (inkremental) tidaklah memadai guna tercapainya
hasil berupa perbaikan-perbaikan besar-besaran.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan
tingkat kemampuan para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat
dikatakan, bahwa semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan
kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin besar
keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning itu,
semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, moder
pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang
menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental
dalam proses pengambilan keputusan.
Kriteria pengambilan Keputusan
Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang
kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
Nilai-nilai Politik.
Pembuat keputusan mungkin melakukan penilaian
atas altematif kebijaksanaan yang dipilihnya dari sudut pentingnya
altematif-altematil itu bagi partai politiknya atau bagi kelompok-kelompok
klien dari badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang
lahir dari tangan para pembuat keputusan seperti ini bukan mustahil dibuat demi
keuntungan politik’ dan kebijaksanaan dengan demikian akan dilihat sebagai
instrumen untuk memperluas pengaruh-pengaruh politik atau untuk mencapai tujuan
dan kepentingan dari partai politik atau tujuan dari kelompok kepentingan yang
bersangkutan.
Nilai-nilai organisasi.
Para
pembuat kepurusan, khususnya birokrat (sipil atau militer), mungkin dalam
mengambil keputusan dipengaruhi oleh nilai-nilai organisasi di mana ia terlibat
di dalamnya’ Organisasi, semisal badan-badan administrasi, menggunakan berbagai
bentuk ganjaran dan sanksi dalam usahanya untuk memaksa para anggotanya
menerima, dan bertindak sejalan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh
organisasi. Sepanjang nilai-nilai semacam itu ada, orang-orang yang bertindak
selaku pengambil keputusan dalam organisasi itu kemungkinan akan dipedomani
oleh pertimbangan-pertimbangan semacam itu sebagai perwujudan dari hasrat untuk
melihat organisasinya tetap lestari, unuk tetap maju atau untuk memperlancar
program-program dan kegiatan-kegiatannya atau atau untuk mempertahankan
kekuasaan dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati.
Nilai-nitai Pribadi.
Hasrat untuk melindungi atau memenuhi
kesejateraan atau kebutuhan fisik atau kebutuhan finansial’ reputasi diri, atau
posisi historis kemungkinan juga digunakan- oleh para pembuat teputusan sebagai
kriteria dalam pengambilan keputusan. Para politisi yang menerima uang sogok
untuk membuat kepurusan tertentu yang menguntungkan si pemberi uang sogok,
misalnya sebagai hadiah pemberian perizinan atau penandatanganan kontrak
pembangunan proyek tertentu, jelas mempunyai kepentingan pribadi dalam
benaknya. Seorang presiden yang mengatakan di depan para wartawan bahwa ia akan
menggebut siapa saja yang bertindak inkonstirusional, jelas juga dipengaruhi
oleh pertimbangan-pertimbangan pribadinya’misalnya agar ia mendapat tempat
terhormat dalam sejarah bangsa sebagai seseorang yang konsisten dan nasionalis.
Nilai-nilai Kebijaksanaan.
Dari perbincangan di atas, satu hal hendaklah
dicamkan, yakni janganlah kita mempunyai anggapan yang sinis dan kemudian
menarik kesimpulan bahwa para pengambil keputusan politik inr semata-mata
hanyalah dipengaruhi oleh pertimbangan-penimbangan demi keuntungan politik,
organisasi atau pribadi. Sebab, para pembuat keputusan mungkin pula bertindak
berdasarkan atas penepsi mereka terhadap kepentingan umum atau keyakinan
tertentu mengenai kebijaksanaan negara apa yang sekiranya secara moral tepat
dan benar. Seorang wakil rakyat yang mempejuangkan undang-undang hak kebebasan
sipil mungkin akan bertindak sejalan dengan itu karena ia yakin bahwa tindakan
itulah yang secara moral benar, dan bahwa persamaan hak-hak sipil itu memang
merupakan tujuan kebijaksanaan negara yang diinginkan, tanpa mempedulikan bahwa
perjuangan itu mungkin akan menyebabkannya mengalami resiko-resiko politik yang
fatal.
Nilai-nilai Ideologis.
Ideologi pada hakikatnya merupakan serangkaian
nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan yang mencerminkan
gambaran sederhana mengenai dunia serta berfungsi sebagai pedoman benindak bagi
masyarakat yang meyakininya. Di berbagai negara sedang berkembang di kawasan
Asia, Afrika dan Timur Tengah nasionalisme yang mencerminkan hasrat dari
orang-orang atau bangsa yang bersangkutan untuk merdeka dan menentukan nasibnya
sendiri — telah memberikan peran penting dalam mewamai kebijaksanaan luar
negeri maupun dalam negeri mereka. Pada masa gerakan nasional menuju
kemerdekaan, nasionalisme telah berfungsi sebagai minyak bakar yang mengobarkan
semangat perjuangan bangsa-bangsa di negara-negara sedang berkembang melawan
kekuatan kolonial.
Di Indonesia, ideologi Pancasila setidaknya bila
dilihat dari sudut perilaku politik regim, telah berfungsi sebagai resep untuk
melaksanakan perubahan sosial dan ekonomi. Bahkan ideologi ini kerapkali juga
dipergunakan sebagai instrumen pengukur legitimasi bagi partisipasi politik
atau partisipasi dalam kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok dalam masyarakat (Abdul Wahab, Solichin, 1987).
KESIMPULAN
1. Definisi Pembuatan Kebijaksanaan Negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
1. Definisi Pembuatan Kebijaksanaan Negara sebagai keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisiaan masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan /implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
2. Terdapadat beberapa teori pengambilan
keputusan yang dianggap paling sering dibicarakan dalam pelbagai kepustakaan
kebijakan negara diantaranya ; Teori Rasional Komprehensif, Teori Inkremental,
Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory).
3. Menurut konsepsi Anderson, nilai-nilai yang kemungkinan menjadi pedoman perilaku para pembuat keputusan itu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu : Nilai-nilai Politik, Nilai-nilai organisasi, Nilai-nitai Pribadi, Nilai-nilai Kebijaksanaan, Nilai-nilai Ideologis.
http://astaqauliyah.com/2005/04/teori-teori-pengambilan-keputusan/
3. KEKUASAAN NEGARA
Negara (sebagai suatu organisasi
di suatu wilayah) memiliki kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah
terhadap semua golongan yang ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan
kehidupan bersama. Negara berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan
untuk digunakan dalam kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai
kegiatan penduduk ke arah tujuan bersama.
Teori Asal kekuasaan Negara
1)Teori Teokrasi
Teori
Teokrasi Langsung: istilah
langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam
negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas
kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya,apakah negara
semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah?
Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak
langsung karena bukan Tuhan sendiriyang memerintah,
melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai
karunia. Anggapan ini timbul dalam sejarah pada sekumpulan manusia yang
tergabung dalam partai konvensional
(agama) dinegara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan
rakyatnyadihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari
Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.
2) Teori
Kekuasaan
Sebagaimana sudah
diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes danMachiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes
membedakan dua macam status manusia:status naturalis - kedudukan manusia
sewaktu masih belum ada negara dan status civilis - kedudukan manusia setelah menjadi
warganegara suatu negara.
3) Teori Yuridis
Teori ini hendak mencari dasar
hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:
a) Teori Patriarkhal
Teori
ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan
keluarga besar, kepala keluarga (primus inter pares) menjadi pemimpin yang
dipuja-puja karena kekuatannya, jasa dan kebijaksanaannya.
b) Teori Patrimonial
Patrimonial berasal
dari istilah patrimonium yang berarti hak milik. Karena rajalahpemegang
hak milik di wilayah kekuasaannya, maka semua penduduk daerah itu harus tunduk
kepadanya. Sekadar contoh, pada abad pertengahan hak untukmemerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah.
Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan
dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang berakhir dengan kemenangan raja,
maka para bangsawan yang ikut membela negara akan mendapatkan sebidang tanah
sebagai tanda jasa.
c) Teori Perjanjian
Teori
perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan oleh tigatokoh
terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Mereka hendak mengembalikan
kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat yangmengalihkan manusia dari
status naturalis ke status civilis
-Menurut Thomas
Hobbes, manusia selalu hidup dalam ketakutan akan diserang oleh manusia lainnya
yang lebih kuat. Maka kemudian diadakan perjanjian masyarakat yang tidak
mengikutsertakan raja. Perjanjian diadakan antarrakyat. Dalam perjanjian
masyarakat (pactum unionis) itu individu-individu menyerahkan hak-hak azasinya
kepada suatu kolektivitas, yaitu kesatuan individu-individu. Kolektivitas itu
kemudian menyerahkan hak-hak atau kekuasaannya kepada raja dalam pactum
subiectionis tanpa syarat apa pun. Itulah sebabnya raja berkekuasaan mutlak
(monarkhi absolut).Sedangkan John Lockemenyatakan bahwa perjanjian itu
diadakan antara raja dan rakyat, sehingga raja dapat memegang kekuasaannya
untuk melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat
meminta pertanggungjawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azasi yang harus dilindungi oleh raja. Akibat dari
perjanjian antara rakyat dengan raja itu timbullah monarkhi konstitusional atau
monarkhi terbatas karena kedudukan raja kinidibatasi konstitusi. Pendapat Rousseau
adalah kebalikan dari paham Hobbes. Menurut Hobbes, pactum unionis itu
“ditelan” oleh pactum subiectionis. Sedangkan
menurutRousseau justru sebaliknya. Tujuan ajaran Rousseau adalah timbulnya
kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu tidak pernah diserahkan kepada raja. Kalau pun raja yang memerintah,
sesungguhnya kekuasaan pemerintahan itu diperolehnya dari rakyat. Raja adalah
mandataris rakyat.
Teori Pemisahan Kekuasaan
Negara
John Locke adalah
orang pertama yang mengemukakan teori pemisahankekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil
Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang
sebagai berikut:
1.Legislatif : kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.Eksekutif : kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.Federatif :
kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan
semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Diilhami pemikiran John
Locke, setengah abad kemudian Montesquieu – seorang pengarang, filsuf asal
Prancis menulis buku“L’Esprit
des Lois” (Jenewa, 1748). Didalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan
kekuasaan yang berlaku diInggris:
1.Legislatif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan
perwakilan rakyat(parlemen);
2.Eksekutif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh
pemerintah;
3.Yudikatif : kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan
peradilan (MahkamahAgung dan pengadilan di bawahnya). Isi
ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan Negara ( separation of
powers ) yang terkenal dengan istilah“Trias Politica”. Keharusan
pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan
raja.Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan
yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi
untukmenyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat.
Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain,
yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi,
kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak
memberikan peradilan kepada rakyat. Badanyudikatiflah yang berkuasa memutuskan
perkara, menjatuhkan hukumanterhadap setiap pelanggaran undang-undang yang
telah diadakan oleh badanlegislatif dan dilaksanakan oleh
badan eksekutif.Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara
(eksekutif),mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara
yangmengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika
melakukanpelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan
John
Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasaneksekutif.
Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaanindependen. Kekuasaan
federatif menurut pembagian John Locke justrudimasukkan Montesquieu sebagai
bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian
Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan
dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yangdipertahankan dengan jelas
dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif,eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah
pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. IsmailSuny,
SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”berkesimpulan bahwa
pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separationof powers
(pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal
sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat
bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika
Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku
pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan
negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republikrakyat di negara-negara
Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka
UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itudalam alat-alat perlengkapan
negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.
http://ml.scribd.com/doc/36413610/KEKUASAAN-NEGARA
4. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK (UMUM)
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa
kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy,
yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan
berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai
dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan
masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R.,
2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana
kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita
artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus
memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan
bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi
kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para
pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi
suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan
publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan
bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak
dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah
manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar
kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak
kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun
demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya
pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992;
2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis
dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka
diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan
yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan:
(Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan
untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan
dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada
yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata
policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi
actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari
policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a particular status in
the rational model as the relatively durable element against which other
premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam
Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari
kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah
melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk
kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan
antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model
rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik,
dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan
Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model
strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam
bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik
tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan
yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin
(Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
- Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
- Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
- Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah,
maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan,
memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh
William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti
historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah
sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali
untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif
kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara
sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The
Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan
hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan
mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins
mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated
decisions taken by a political actor or group of actors concerning the
selection of goals and the means of achieving them within a specified situation
where these decisions should, in principle, be within the power of these actors
to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait
dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan
berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat
melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan
“administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy
“Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara
mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan
bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan
membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam
bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan
yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk
mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas
R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant
Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah
kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni
University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik biasanya
tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata
strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk
kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait
dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan
berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat
melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan
“administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi
oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain
yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian
disebut dengan administrasi negara.
Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang
bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan dengan penerapan
atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program
dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk
kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal
Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan
kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai,
dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth
Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan
pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas
R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant
Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah
kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni
University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat
spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu
kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan
keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang
telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut:
Menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan
publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena
kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan
kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama,
dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua,
bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga,
bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang
banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah
untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan
biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis
kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
- Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
- Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
Namun dari semua isu tersebut di atas menurut
Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai
prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses
penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat
digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
- Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
- Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
- Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
- Adil
- Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.
Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada
dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu
didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai
disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan
publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis
secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley,
1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah termasuk
didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara
bersama-sama.
Pada praktik kebijakan publik antara lain
mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme
jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track),
yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar
untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark
Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi
antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan.
Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting
didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu formulasi
kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy
implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation).
http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html
5.DISTRIBUSI
KEKUASAAN
Para scholars ilmu
politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda untuk menganalisis
soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada tigamodel yang ditawarkan para
sarjana ilmu politik dalam memahaini distribusi kekuasaan (Andrain, 1992 :
154), pertama, model elite berkuasa. Menurut model ini sumber kekuasaan
terpusat pada sekelompok kecil orang saja. Kedua, model pularis, di mana
kekuasan mulai tersebar diantara beberapa kelompok sosial masyarakat. Dan, ketiga, model kekuasaan popular
atau populis, yang mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luas
di seluruh kalangan warga negara.
A.Model – Model
Distribusi Kekuasaan
1.Model Elite berkuasa
atau model Elite yang memeirntah. Kosnepmengenai adanya elite yang memeintah
atau berkuasa telah tedapat dalam tulisan Vilfredo Pareto dalam bukunya The
Inind and Society;Gaetano Mosca dalam karyanya The Ruling Class, juga dalam
tulisan Wright Inills, The Power Elite. Mereka akan mengemukakan bahwa dalam
semua masyarakat (di manapun dan kapanpun) akan selaluterdapat suatu kelompok
kecil yang berkuasa atas mayoritas warga.Gaetano Mosca bahkan hanya membagi
kategori warga (dalam konteks kekuasaan) ke dala dua kelompok besar. Pertama,
kelompoknatau klas yang mmrintah (pemerintah), yang teridir dari sedikit
orang,melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, danmenikmatinya. Dan
kedua, klas yang diperintah, yang berjumlah banyak, dan berkecenderungan
dimobilisasi oleh penguasa dengancara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga paksaan.
2.Model Pluralis.
Asumsi yang terbangun dalam masyarakat yang relatif demokratis adalah
setiap individu menjadi satu anggota suatu kelompok atau lebih berdasar pada
preferensinya atas kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya.
Dalam konteks ini
kelompok berfungsi sebagai wadah perjuangan kepentingan para anggota dan
menjadi perantara antara para anggotanya, sehingga yang dimaksud dengan model elite yang berkuasa di
sini ialah para kelompok yang saling bersaing dan berdialektika sesama
kelompok lain dalam mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat
pemerintah deini terlaksananya keinginan dan kebutuhan kelompok.3.Model kekuasaan
popular. Asumsi yang mendasari model populis atau kerakyatan adalah demokrasi.
Di mana pada sistem politik demokrasi(liberal) yang dibangun adalah sikap
individualisme. Individualisme sendiri diasumsikan sebagai: (1) setiap warga negara yang telah dewasa
mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum; (2) setiapwarga negara yang sudah
dewasa yang mempunyai minat yang besar untuk aktif dalam proses politik;
serta (3 ) setiap warga negara yang dewasa mempunyai kemampuan unutk mengadakan
penilaian tehadap proses politik karena mereka memiliki informasi yang
memadai.Oleh karena kewenangan tidak terbagi aecara merata, maka kewenangan dan
atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoirter atau totaliter)harus dialihkan.
Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perlu dilaihkan adalah, bahwa
semakin lama seseorang memegang suatu jabatan.Semakin orang tersebut menganggap
dan memperlakukan jabatan yang dipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya.
tidak hanya semakin tidak kreatif dia dalam melaksanakan fungsi dan
perannya dalam bertugas tetapi juga semakin cenderung mungkin dalam
menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena
itu, peralihan kewenangan seseorang atau kelompok orang kepada orang atau
kelompok lain merupakan suatu keharusan. Menurut Paul Coun (dalam Surbakti, 1992: 89)
secara umum terdapat light cars peralihan kewenangan. yakni: pertama, turun
menurun,yang dimaksud derngan peralihan kewenangan secara turun menurun
ialah jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada ketuninan atau
keluarga pemegang jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam sistem
politik yang utonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua peralihan
kewenangan dengan cara ptharcyalaii peralihan kewenangan melalui kontrak sosial
yang berbentuk pemulihan umum baik yang dilakukan secara langsung
ataupun melalui badan perwakilan rakyat. Hal ini dlpraktikan dalam sistem
politik yang demokratis. Dan ketiga, peralihan kewenangan melalui paksaan
peralihan kewenangan secara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpalcsa dialihkan kepadaorang atau kelompok
lain dengan tidak menurut prosedur yang sudah disepakati tetapi melalui tindak
inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaan tak berdarah revolusi, dan/ atau
kudeta.
B.Sirkulasi Elit
Kekuasaan
Cara pandang lain untuk
melihat sirkulasi elite adalah atau yang dapat terjadi, sebagai berikut: a)Individu
– individu dari strata bawah berhasil memasuki ruang elite yangsudah ada;
b)Aktor individu atau kelompok yang berasal dari strata bawah membuat suatu
kelompok elite baru yang diperhitungkan dan terlibat dalam perbutan
kekuasaan dengan elit yang sudah ada.Terdapat tiga bentuk pertukaran atau
sirkulasi elite ang berlangsung dalam mekanisme exchange:
1.Pertukaran atau
sirkulasi elite antara pihak pemerintah dengan kelompok oposisi yang berasal
dari dalam kelas – kelas politik ( political class).
2.Pertukaran atau
sirkulasi elite antara yang tergabung dalam kelompok political class
dengan kelompok yang pernah berkuasa atau
tengahtengah berkuasa.
3.Pertukaran atau
sirkulasi elite antara mereka yang berkuasa (therulling class ) dengan mereka yang dikuasai (the ruled class)
http://ml.scribd.com/doc/46463821/Definisi-kekuasaan